Arrum Astri Saputri (11214683)
Febripiseska Rahma (14214123)
Iin Royati (15214118)
Nisrina Fauriza (17214978)
Putri Dwi Anggraeni (18214591)
Rahmah Hafidzah. P (18214782)
Ramadhanty Dwi. P (18214880)
Kelas : 3EA12
Mata kuliah : Softskill Etika Bisnis
1. Pengertian Etika Bisnis
Kata “ etika “ dan “ etis “
tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Untuk menganalisis arti – arti etika
adalah membedakan antara “ etika sebagai praksis “ dan “ etika sebagai
refleksi. “ Etika sebagai praksis berarti : nilai – nilai dan norma – norma
moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya
dipraktekkan. Dapat juga dikatakan, etika sebagai praksis adalah apa yang
dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Etika
sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas : apa yang harus
dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dsb.
Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi, kita berpikir tentang apa yang
dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku
seseorang.
Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya manusia. Karena itu etika dalam arti ini disebut juga filsafat praktis.
Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya manusia. Karena itu etika dalam arti ini disebut juga filsafat praktis.
Seperti etika terapan pada
umumnya, etika bisnis dapat dijalankan pada tiga taraf : taraf makro, meso, dan
mikro. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek – aspek moral dari
sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, disini masalah – masalah etika
disoroti pada skala besar. Pada taraf meso, etika bisnis menyelidiki masalah –
masalah etis dibidang organisasi. Pada taraf mikro, yang difokuskan ialah
individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Disini mempelajari tanggung
jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, dll.
2.Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis
Bisnis modern merupakan realitas yang amat
kompleks. Banyak faktor yang turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis.
Antara lain ada faktor organisatoris – manajerial, ilmiah – teknologis, dan
politik – sosial – kultural.Bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti
sekurang –kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu
mungkin dipisahkan, yaitu sudut pandang ekonomi, hokum, dan etika
a.Sudut Pandang Ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis.
Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar menukar, jual – beli, memproduksi
– memasarkan, bekerja – memperkerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya dengan
maksud memperoleh untung. Bisnis dapat dilogiskan sebagai kegiatan ekonomis
yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan keuntungan.
Dalam bisnis modern, untung diekspresikan dalam bentuk uang. Tetapi hal itu
tidak hakiki untuk bisnis. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial yang
menguntungkan untuk kedua belah pihak yang melibatkan diri. Bisnis bukanlah
karya amal. Bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu orang dengan sepihak,
tanpa mengharapkan suatu kembali.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana
dalam sistem ekonomi pasar bebas para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya
langka, menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat. Efisiensi
ekonomis artinya hasil maksimal akan dicapai dengan pengeluaran minimal. Efisiensi
merupakan kata kunci dalam ekonomi modern.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa banyak untung.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa banyak untung.
b. Sudut Pandang Moral
Dengan tetap mengakui peranan
sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis, perlu segera ditambahkan
adanya sudut pandang lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang
moral. Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan.
Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah perlu
ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti penting bagi kata “ baik “.
Perilaku yang baik merupakan perilaku yang sesuai dengan norma – norma moral,
perilaku yang buruk bertentangan atau menyimpang dari norma – norma moral.
Suatu perbuatan dapat dinilai baik menurut arti terdalam justru kala memenuhi
standard etis tersebut.
c.Sudut Pandang Hukum
Tidak bisa diragukan lagi,
bisnis terikat juga oleh hukum. “ Hukum Dagang “ atau “ Hukum Bisnis “merupakan
cabang penting dari ilmu hukum modern. Seperti etika pula, hukum merupakan
sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan. Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran
Roma sudah dikenal pepatah : “ Quid leges sine moribus? “, yang berarti “ Apa
artinya undang – undang, kalau tidak disertai moralitas? “ Walaupun terdapat
hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam norma itu
tidak sama. Disamping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang
moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, banyak hal
bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak semuanya
yang bersifat immoral adalah ilegal juga. Malah ada perilaku yang dari segi
moral sangat penting, tetapi tidak diatur oleh hukum. Kedua, bahwa proses
terbentuknya undang – undang atau peraturan hukum memakan waktu lama, sehingga
masalah – masalah baru tidak bisa segera diatur secara hukum. Ketiga, bahwa
hukum itu sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah
sempurna sehingga orang yang beritikat buruk bisa memanfaatkan celah – celah
dalam hukum. Alasan yang keempat cukup dekat dengan itu. Bisa terjadi, hukum
memang bisa dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan sulit untuk
dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan control yang efektif. Kelima,
hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri
tidak di definisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral.
Tolak Ukur Untuk Tiga Sudut Pandang Ini
a.
Hati Nurani
Suatu perbuatan
adalah baik jika dilakukan sesuai hati nurani dan suatu perbuatan adalah buruk
jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani adalah norma yang
sering kali sulit dipakai dalam forum umum dan harus dilengkapi dengan norma –
norma yang laen.
b.
Kaidah Emas
Cara lebih
objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan
kaidah emas yang berbunyi : “ hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana
anda sendiri ingin diperlakukan. “Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara
positif maupun negatif. Tadi diberikan perumusan positif. Bila dirumuskan
secara negatif, kaidah emas berbunyi : “ janganlah melakukan terhadap orang
lain, apa yang anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri anda. “
c.
Penilaian Umum
Cara ketiga dan
barangkali yang paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan
adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa
disebut juga “ audit sosial. “ Sejauh masyarakat yang menilai masih terbatas,
hasil penilaiannya mudah bersifat subjektif. Untuk mencapai suatu tahap
objektif, perlu penilaian moral dijalankan dalam suatu forum yang seluas
mungkin. Karena itu “ audit sosial “ menuntut adanya ketebukaan. Dapat
disimpulkan, supaya patut disebut good business, tingkah laku bisnis harus
memenuhi syarat – syarat dari semua sudut pandang tadi.
3.Perkembangan Etika Bisnis
Sepanjang sejarah, kegiatan
perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Sejak manusia
terjun dari perniagaan, kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis.
Aktivitas perniagaan selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus
mempertimbangkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Belum pernah dalam
sejarah, etika bisnis mendapat perhatian begitu besar dan intensif seperti
sekarang ini. Richard De George mengusulkan untuk membedakan antara etika dalam
bisnis dan etika bisnis. Etika dalam bisnis berbicara tentang bisnis sebagai
salah satu topik disamping sekian banyak topik lainnnya. Etika dalam bisnis
belum merupakan suatu bidang khusus yang memiliki corak dan identitas
tersendiri. Etika dalam bisnis mempunyai riwayat yang sudah panjang sekali,
sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali. Etika bisnis dalam arti khusus
ini pertama kali timbul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Dengan
memanfaatkan dan memperluas pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima
periode dalam perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis, yaitu
situasi dahulu, masa peralihan : tahun 1960an, etika bisnis lahir di Amerika
Serikat tahun 1970an, etika bisnis meluas ke Eropa tahun 1980an, dan etika
bisnis menjadi fenomena global tahun 1990an.
4.Profil Etika Bisnis Dewasa Ini
Praktis di segala kawasan dunia etika bisnis
diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Menurut dugaan De George,
tahun 1987, di Amerika Serikat saja diberikan lebih dari 500 kuliah etika
bisnis, yang melibatkan lebih dari 40.000 mahasiswa. Banyak sekali publikasi
diterbitkan tentang etika bisnis. Pada tahun 1987 De George menyebut paling
sedikit 20 buku pegangan tentang etika bisnis dan 10 buku kasus di Amerika
Serikat. Sekurang – kurangnya ada tiga seri buku tentang etika bisnis, yaitu
The Ruffin Series In Business Attics, Issues In Business Attics, Sage Series In
Business Attics. Sudah ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika
bisnis. Dalam bahasa Jerman sudah tersedia kamus tentang etika bisnis : Lexikon
der Wirtschaftsethik (Kamus Etika Ekonomi) Sekarang dapat ditemukan juga cukup
banyak institut penelitian yang mendalami masalah etika bisnis. Sudah didirikan
beberapa asosiasi dengan tujuan khusus memajukan etika bisnis. Di Amerika
Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program studi tingkat S2 dan S3
khusus di bidang etika bisnis.
5.Faktor Sejarah Dan Budaya Dalam Etika Bisnis
Dewasa ini orang akan merasa
bangga, bila dapat menunjukkan kartu nama yang menyingkapkan identitasnya
sebagai direktur atau manajer perusahaan yang ternama. Bisnis sebagai pekerjaan
tidak dinilai kurang dari profesi lain, terutama kalau menghasilkan pendapatan
tinggi. Jika kita mempelajari sejarah dunia barat, sikap positif ini tidak
selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad – abad
lamanya terdapat tendensi cukup kuat yang memandang bisnis atau perdagangan
sebagai kegiatan yang tidak pantas bagi manusia beradab. Pedagang tidak
mempunyai nama baik dalam masyarakat barat di masa lampau. Orang seperti
pedagang jelas – jelas dicurigai kualitas etisnya. Sikap negatif ini
berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar
waktu industrialisasi.
- Kebudayaan yunani kuno
Masyarakat
yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap kegiatan dagang dan
kekayaan , warga Negara bebas harusnya mencurahkan perhatian dan waktunya
untuk kesenian dan ilmu pengetahuan disampin tentu member sumbangsih terhadap
negara dan kalau keadaan mendesak turut membela Negara . perdagangan sebaiknya
diserahkan kepada orang asing atau pendatang Penolakan terhadap pnadngan
diatas dilakukan oleh aristoteles ( dalam karyanya politica ) ia menilai
tidak etis setiap kegiatan menambah kekayaan ia membedakan antara oikonomike
tekhne dan khremastike tekhne
- Agama Kristen
Dalam
kitab suci agama Kristen terdapat cukup banyak teks yang bersifat kritis
terhadap kekayaan dan uang . dalam perjanjian lama atau baru dalam alkitab
banyak diminta agar orang kaya membuka hatinya untuk orang miskin untuk janda
dan yatim piatu untuk mereka yang sial dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
- Agama islam
Jika
kita memandang sejarah dalam agama islam tampak pandangan lebih positif
terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis karena nabi muhammad saw pun seorang
pedagan dan islam mulai di sebarluaskan melalui kegiatan perdagangan . dalam al
uran terdapat peringatan terhadap penyalah gunaan kekayaan akan tetapi tidak dilarang
mencari kekayaan dengan cara halal.
- Kebudayaan jawa
Dalam kebudayaan jawa terdapat
struktur social yang membagi masytarakat ke dalam empat golongan yaitu
:golongan priyayi, pedagang pribumu, pedagang tionghoa , orang kecil Golongan
priyayi membentuk elite politik dan cultural yang menjahkan diri dari
perdagangan . golongan kedua adaalah pedagang pribumi yang menjamin perputaran
roda ekonomi bersama pedagang tionghoa
6.Kritik Atas Etika Bisnis
Etika bisnis sebagai usaha
intelektual dan akademis yang baru pasti masih menderita banyak “ penyakit
anak. ” Banyak hal yang perlu dikerjakan lagi dan banyak hal yang sudah
dikerjakan perlu disempurnakan. Karena itu etika bisnis harus terbuka bagi
kritik yang membangun. Dibawah ini akan dibahas beberapa contoh. Barangkali
penjelasan ini bisa membantu mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang maksud
etika bisnis sekarang ini.
a.Etika Bisnis Mendiskriminasi
Kritik pertama ini berasal dari
Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen. Inti keberatan
Drucker ialah bahwa etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi. Mengapa
dunia bisnis harus dibebankan dengan etika? Mereka berpendapat bahwa perbuatan
yang tidak bersifat immoral atau ilegal kalau dilakukan orang biasa menjadi
immoral atau ilegal kalau dilakukan oleh orang bisnis. Dan Drucker menyimpulkan
bahwa etika bisnis itu menunjukkan adanya sisa – sisa dari permusuhan yang lama
terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis. Kritiknya berasal dari salah paham besar
terhadap etika bisnis. Justru karena orang bisnis merupakan orang biasa, mereka
membutuhkan etika. Adanya etika bisnis membuktikan bahwa bagi bisnis justru
tidak ada pengecualian.
b.Etika Bisnis Itu Kontradiktif
Kritik ini ditemukan dalam
kalangan populer yang cukup luas. Orang – orang ini menilai etika bisnis
sebagai suatu usaha naïf. Dunia bisnis itu ibarat rimba raya dimana tidak ada
tempat untuk etika. Etika dan bisnis bagaikan air dan minyak.
c.Etika Bisnis Tidak Praktis
Andrew Stark, seorang dosen
manajemen di Universitas Toronto memberikan kritik yang cukup pedas. Menurut
Stark, etika bisnis adalah “ too general, too theoretical, too impractical. “
Ia menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para
professional di bidang manajemen. Dan ia memberi komentar : apa yang mereka
hasilkan itu seringkali lebih mirip filsafat sosial yang muluk – muluk daripada
advis etika yang berguna untuk para profesional. Karena itu kita mencoba untuk
menanggapinya sebagai berikut. Pertama, Stark hanya memandang dan mengutip
artikel dan buku ilmiah tentang etika bisnis. Kedua, Stark merupakan contoh
tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam etika
bisnis. Ia hanya memperhatikan aspek – aspek etis dari keputusan yang harus
diambil manajer dan kurang berminat untuk kerangka menyeluruh dimana
pekerjaannya ditempatkan. Ketiga, sebagai ilmu, etika bisnis selalu bergerak
pada taraf refleksi dan akibatnya pada taraf teoritis juga.
d.Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggung
Jawab
Kritisi ini meragukan entah
etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh para
pebisnis dan manajer itu sendiri. Kritik tersebut merupakan salah paham. Etika
bisnis sama sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para
pebisnis. Etika bisnis tidak berpretensi memiliki keahlian yang sama sifatnya
seperti banyak keahlian yang lain. Etika bisnis tidak bermaksud mengganti
tempat dari orang yang mengambil keputusan moral. Etika bisnis bisa membantu
untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi tidak
berniat mengganti tempat dari para pelaku moral dalam perusahaan.
Sumber